Sebenarnya, apa yang membuat pelajaran ini menjadi berat bagi siswa ?
Suatu pelajaran menjadi berat dan menjadi beban bagi siswa, jika ilmu yang dipelajari jauh dari masalah kehidupan, jauh dari kondisi lingkungan siswa yang belajar. Suatu ilmu menjadi beban, bila sulit untuk diterapkan. Sayang sekali bila waktu para siswa dihabiskan untuk mempelajari ilmu yang jauh panggang dari pada api, sudah susah mempelajarinya, susah pula untuk menerapkannya.
Pengalaman penulis ketika mengunjungi sebuah sekolah dipedesaan, sambil berbincang-bincang saya coba meminjam buku kimia apa yang mereka pegang. Tertulis pada judul buku, kimia disekitar kita, tapi sayang isinya tidak menunjukan kita yang berada diwilayah pedesaan. Kalau meminjam istilah anak muda sekarang " kita yang mana, elu kali gua kagak". Wajar saja kalau siswa mengeluh sulitnya mempelajari ilmu kimia, karena kalaupun sudah bisa memahami isi buku, belum tentu juga bisa diterapkan di desanya. Padahal banyak sekali ilmu kimia yang bisa di ramu untuk diajarkan khusus diwilayah pedesaan, dengan demikian belajar kimia menjadi lebih menyenangkan, tidak menjadi beban dan bisa langsung diterapkan di rumahnya.
Banyak sekali penduduk desa yang pintar-pintar mengungsi ke kota, karena amat disayangkan kalau sudah pintar tapi tetap tinggal didesa dan hanya bisa menjadi petani yang miskin. Mengapa ini bisa terjadi, hal ini disebabkan karena ilmu yang mereka pelajari tidak dapat diterapkan didesa, dan hanya bisa diterapkan di kota, jadi wajar saja kalau banyak penduduk desa yang pindah kekota, padahal desanya kaya akan sumber daya alam dan membutuhkan orang-orang cerdas untuk mengelolanya.
Pendidikan yang salah sasaran, hanya akan menjadikan beban bagi siswa dan hanya membuang waktu muda dengan sia-sia. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan berorientasi izasah, hanya izasahnya sajalah yang dapat dimanfaatkan untuk melamar pekerjaan di kota, sedangkan ilmunya hanya sampai untuk mendapatkan izasah. Amat disayangkan, sudah banyak waktu yang dikorbankan juga biaya. Pendidikan seperti ini membuat desa ditinggal oleh penduduknya, karena ilmu yang didapat, atau izasah yang diperoleh baru dapat dirasakan manfaatnya apabila pindah kekota.
Penulis menyarankan materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing wilayah, tidak perlu disamakan secara nasional. Ilmu yang diberikan mengutamakan mengatasi permasalahan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Misalnya untuk anak sd,smp,sma di wilayah pedesaan, mata pelajarannya lebih difokuskan pada pengembangan sumber daya alam wilayah desanya. dengan demikian belajar jadi lebih menyenangkan, dapat diterapkan langsung dan tidak menjadi beban.
Penulis pribadi merasa senang apabila kurikulum nasional di kurangi, tapi bukan berarti jam belajarnya disekolah dikurangi, sisa waktu yang cukup banyak dapat dimanfaatkan oleh para guru untuk memberikan ilmu tambahan yang sesuai denga kondisi wilayahnya masing-masing.
mengutip pernyataannya renald kasalali dalam tulisannya "Maka ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran
siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya. Namun kalau pengurangan
semata-mata dilakukan hanya sekedar untuk mengurangi jumlah subyeknya
saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “nowhere” juga. Apalagi
kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan
mempertahankan subyek-subyek yang hanya akan disampaikan secara kognitif
belaka." untuk lebih lengkapnya dapat dibaca pada link berikut :
Tujuh mata pelajaran untuk SD di kurikulum baru 2013 (http://www.sekolahdasar.net/2012/10/7-mata-pelajaran-untuk-sd-di-kurikulum.html).
Menanggapi beberapa tulisan baik pro dan kontra mengenai pengurangan mata pelajaran dan perubahan mata pelajaran IPA dan IPS menjadi pengetahuan umum.
Kurikulum nasional adalah kurikulum yang berlaku nasional diseluruh penjuru tanah air, baik itu di pedesaan, daerah pinggir pantai, pegunungan ataupun perkotaan, berlaku mata pelajaran yang sama dengan isi materi yang sama. Ada beberapa mata pelajaran, yang memang isi materinya dapat disamakan untuk seluruh penjuru tanah air, misalnya pelajaran Agama, PPKn, Penjas, Matematika, Pengetahuan Umum, Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing. Tapi ada juga beberapa mata pelajaran yang isinya disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, misalnya mata pelajaran IPA, Kesenian, dan bahasa daerah.
Mata pelajaran IPA untuk wilayah pesisir pantai berbeda dengan mata pelajaran IPA untuk wilayah pegunungan, pedesaan dan perkotaan. Mata pelajaran kesenian dan bahasa daerah, untuk wilayah jawa berberbeda dengan wilayah sumatra, kalimantan, bali dll.
Sebaiknya kurikulum itu terbagi menjadi dua, ada kurikulum nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah indonesia dan mengatur mata pelajaran yang memang hasus sama diseluruh indonesia, dan ada kurikulum daerah, dimana materi pelajarannya disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing.
Penulis pribadi, mendukung pemerintah mengurangi jumlah pelajaran di tingkat SD dengan harapan dapat mengurangi jumlah jam duduk dikelas bagi siswa SD, menggantinya dengan aktifitas belajar diluar kelas.
Penulis juga mendukung mata pelajaran IPA tidak dimasukan kedalam kurikulum nasional di tingkat SD, tapi bukan berarti ditiadakan, penulis berharap sekolah tetap mengadakan pendidikan IPA dengan materi yang disesuaikan dengan wilayah masing-masing dengan cara penyampain yang tidak kaku dan tidak selalu didalam kelas. Bagi sekolah sekolah yang berada di pesisir pantai, pendidikan IPA ditingkat SD dapat dilakukan dengan mempelajari pengetahuan tentang dunia laut, dan bagi daerah pertanian dapat mempelajari pengetahuan tentang ilmu pertanian, pada intinya materi IPA disetiap wilayah di izinkan untuk berbeda-beda.
Mengenai pendidikan karakter, karena karakter itu lebih baik diajarkan lewat keteladanan, bukan lewat teori, oleh sebab itu perlu adanya guru yang beragam. Guru yang beragam yang penulis maksud adalah mencari guru dari luar, diluar orang-orang yang berprofesi sebagai guru, misalnya adalah pedagang yang sukses, petani sukses, peternak sukses dll, mereka dapat diminta untuk mengajar dikelas yang berhubungan dengan keahliannya. Para murid bisa belajar lebih mendalam dan realistis, langsung pada ilmu-ilmu sederhana yang dapat diterapkan, bukan belajar ilmu yang rumit jauh panggang dari pada api, sehingga untuk diterapkan perlu banyak syarat dan kondisi ideal.
Penulis pribadi kurang setuju bila hanya orang-orang yang berprofesi guru saja yang mengajar di kelas, atau hanya orang-orang yang bersertifikat kependidikan saja yang boleh mengajar, mengapa demikian, karena diluar sana, orang-orang yang bukan berprofesi guru, banyak sekali orang-orang yang sudah sukses mengolah ilmu menjadi ilmu yang bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari, orang-orang sukses yang sudah berhasil menerapkan ilmunya dimasyarakat inilah yang seharusnya menjadi guru.
Pada umumnya guru/dosen adalah orang orang yang kehidupannya dari SD hingga Perguruan Tinggi tidak jauh-jauh dari dunia sekolah, akibatnya wawasannya terbatas lebih banyak sekitar dunia sekolah, mereka adalah orang-orang yang sukses di dunia sekolah tapi belum tentu di dunia luar sekolah. Sementara orang-orang yang belajar, banyak yang berharap agar ilmunya bisa membantunya sukses di dunia luar sekolah, bukan hanya sukses didunia sekolah. Oleh sebab itu sekolah-sekolah diharapkan dapat membuka kesempatan pada orang-orang yang sudah berhasil dalam usahanya untuk mengajarkan ilmunya disekolah, meskiun dia bukan orang yang berpendidikan. Perlu kita sadari bahwa orang yang berilmu itu bukan hanya orang-orang yang bersertifikat, begitu pula dengan guru, banyak sekali diluar sana yang layak disebut guru, guru bangsa, tapi tidak tersertifikasi karena portofolionya tidak ada.
Jadi harapan penulis, sekolah harus membuka diri, siapa saja yang berilmu dan sudah banyak pengalamannya dalam menerapkan ilmunya dia berhak menjadi guru, dan yang namanya ilmu itu tidak hanya ilmu-ilmu yang ada dibuku, tidak hanya ilmu-ilmu yang sudah terdaftar. Kita sadari banyak sekali ilmu diluarnya sana yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari yang belum terpetakan, belum dikatagorikan sebagai ilmu pelajaran sekolah, padahal pada kenyataanya ilmu itu dibutuhkan dan mempengaruhi kesuksesan seseorang.
Demikian coretan saya, sekedar berbagi pemikiran, bila ada yang kurang jelas silahkan ditanyakan, apa yang saya fikirkan sekarang dapat berubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman. Terimakasih, bagi yang sudah membaca hingga baris ini, semoga bermanfaat.
Apa yang harus dilakukan di kelas mengajar atau melatih ? Bagaimana cara merubah macan kertas menjadi Mac Gyver ? Alkisah ada seorang murid yang ingin belajar ilmu beladiri, kemudian masuklah dia ke suatu kelas ilmu beladiri modern, kelas ilmu beladiri modern ini diajarkan oleh seorang profesor ahli ilmu beladiri modern, profesor ini sudah banyak melakukan penelitian ke hampir semua ilmu beladiri yang ada didunia. Di dalam kelas murid ini diajarkan beberapa teori tentang ilmu beladiri, jenis-jenis ilmu beladiri ditinjau dari segi kelebihan dan kekurangan, tidak lupa dijelaskan juga assal usul atau sejarah ilmu beladiri. Hampir semua ilmu beladiri di jelasskan didalam kelas. Di akhir semester ujian dilaksanakan, seperti biasa profesor memberikan soal kepada murid untuk dijelaskan, dimulai dari sejarah ilmu beladiri, jenis ilmu beladiri hinggi kelebihan dan kekurangan ilmu beladiri. Sebagian besar murid yang rajin belajar lulus ujian ini dan mendapatkan nilai A. Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan belajar seperti ini seorang murid menjadi ahli beladiri, jawabannya sudah jelas diatas kertas "ya" tapi dilapangan ..."tidak".
Beginilah sistem pendidikan kita, kadang saya terheran-heran melihat anak saya megerjakan PR pendidikan jasmani, salah satu soalnya menanyakan "apakah yang dimaksud dengan lari", "jelaskan cara melompat yang baik". Sebagai orang tua, bingung untuk menjelaskan, kalau mencotohkan lari saya bisa, tapi kalau menjelaskan apa itu lari ???....sulit untuk dijelaskan.
" Untuk
memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya (Rhenald Kasali, Red) saat
mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini
diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya
mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya
iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas
marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta
mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak
yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan
dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak
“marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.
Begitulah “the power of exam merit”.
Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu
dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan
pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat
ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok,
tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan
pengetahuannya?...."
Ilustrasi yang lain, misalnya pada pembelajaran "Pendidikan Moral Pancasila" di jelaskanmengenai prilaku yang bermoral dengan segala definisinya dan contohnya, atau pendidikan anti korupsi yang membahas nilai-nilai antikorupsi seperti keadilan, keberanian, dan kepedulian. Bila pola pendidikan diberikan dengan cara yang sama, sudah tentu semua siswa yang memiliki hafalan bagus akan mendapat nilai A, tidak perduli dia orangnya jujur, bermoral atau tidak.
Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini,
maka bisa di bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan
kita tidak siap pakai, dan mengapa banyak profesi lulusan yang tidak sesuai dengan jurusan ketika sekolah. Anak-anak mengeluh sekolahnya
susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai.
Guru guru mengeluh karena murid tidak mempersiapkan belajar di rumah dengan
baik. dan tentu saja
di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan
sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!. Muridnya asik mengejar nilai, gurunya asik mengejar kum untuk kenaikan pangkat.
Pembelajaran berpusat pada murid bukan pada guru.
Mengutip pernyataanya Prof. Rhenald kasali dalam tulisan "Belajar Non Formal"
"Tahukan Anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat
tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar
antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi. Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya, dan sebagian lagi ada
di tangan orang-orang hebat. Saya pikir inilah saatnya bagi para social
entrepreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang
bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandnya harus kuat agar para
remaja tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi."
Pola pembelajaran yang ada saat ini, dimana seorang guru membuat slide kemudian di jelaskan didepan kelas, tugas murid adalah mendengarkan, memahami dan menghafalkan apa yang ada dalam slide yang dibuat oleh guru. Pengalaman pribadi saya dalam mengamati cara belajar mahasiswa adalah, hanya dengan menghafal apa yang ada dalam slide dan berlatih mengerjakan soal, seorang mahasiswa bisa mendapatkan nilai A, mengapa demikian, karena soal yang diberikan tidak akan jauh-jauh dari slide yang dibuat oleh guru. Akibatnya ilmu siswa hanya terbatas pada slide yang diberikan oleh guru, padahal ilmu yang ada dalam slide masih sama dengan ilmu 10 tahun yang lalu ketika gurunya masih sekolah.
"If we teach today's students as we taught yesterday's, we rob them of tomorrow" -- John Dewey.
"I cannot teach anybody anything; I can only make them think" – Socrates "I never teach my pupils; I only attempt to provide the conditions in which they can learn" – A. Einstein
Amat disayangkan ketika saya membaca buku kimia SMU sekarang, ternyata isinya tidak jauh berbeda dengan ilmu kimia yang saya pelajari ketika SMA dahulu, itu artinya dalam 17 tahun belum ada perubahan yang berarti. Cara belajarnya-pun masih sama dimana murid hanya mendengarkan apa yang guru ajarkan.
Berikut adalah kutipan slide tentang student center learning,
Jadi seorang guru bukan lagi mengajar dikelas tapi membelajarkan, bukan bahan ajar yang di tonjolkan tapi hasil belajar siswa lah yang di amati perkembangannya.
Kurikulum berbasis kearifan lokal (Sumber daya alam lokal)
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi sebuah sekolah di daerah pegunungan di sumatra utara, karena bidang saya kimia, saya bertanya pada salah satu murid, materi apa yang dipelajari pada mata pelajaran kimia. Murid itu menjelaskan sambil menunjukan sebuah buku "Kimia disekitar kita", materi inilah yang dipelajari. Dari judul bukunya cukup menarik, kimia disekitar kita, namun sayang kita yang mana, kalau kata bahasa anak muda sekarang " elu kali gua kagak". Sayang sekali kalau di sekitar kitanya disamakan dari seluruh penjuru tanah air, padahal sudah tentu wilayah pedesaan, wilayah pantai, wilayah industri dan perkotaan punya masalah yang berbeda-beda. Kebetulah daerah yang saya kunjungi adalah wilayah perkebunan kopi, cengkeh, dan hutan, namun sayang didalam ilmu kimia yang di pelajari tidak diajarkan metode ekstrak yang berhubungan dengan kopi dan cengkeh dan tidak ada pula pelajaran yang menjelaskan kalau dihutan bisa saja ditemukan tanaman sumber minyak gaharu, yang harga minyak kualitas rendahnya saja bisa mencapai Rp 2jt perliternya. Seandainya semua materi pelajaran disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing, tentu siswa akan lebih semangat lagi untuk mempelajarinya karena ilmu yang diperoleh disekolah dapat langsung dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila demikian lulusan SMA pun sudah dapat berkarya diwilayahnya masing-masing, tidak perlu lagi terjadi orang-orang desa pergi kekota supaya ilmunya dapat diterapkan, karena didesa masing-masing ilmunya sudah dapat diterapkan. Lalu bagaimana dengan UAN, beberapa guru mengeluh karena mereka dikejar target agar siswanya bisa lulus UAN. Mengutip pernyataan Prof. Renald Kasali dalam tulisan "Keluar dari kecakapan ujian " yang isinya :
"Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah
tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian? Saya (Rhenald Kasali, red)
ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan
yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak
adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area
"ban berjalan" dengan seorang manajer Jepang, yang mengawasi
ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar. Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”,
maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari
beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?"
Beberapa materi pelajaran yang dapat di UAN adalah materi yang isinya sama di seluruh indonesia, seperti Matematika, B. Indonesia, B. Inggris, dan Agama, sedangkan untuk materi yang lain diarahkan berbasis kearifan lokal.
Berapa banyak pelajaran yang harus diwajibkan di sekolah ?
Kadang saya terheran heran melihat anak SD sekarang sekolah dari pagi hingga sore, kapan mereka bisa bermain. Benarkan pendidikan ini semakin berat semakin hebat ?. Mengutip pernyataannya Prof. Renald kasali yang berjudul "Pendidikan : Benarkah semakit berat semakin hebat."
"Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita ?. Bukannya
dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak
anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?"
minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan
menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena
anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran.
Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya
mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan". Bukan
hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga
dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan
karier masa depan. Bagaimana di sini ? "
Amat disayangkan kalau waktu muda, anak-anak kita dihabiskan untuk mempelajari pendidikan disekolah yang materinya jauh panggang dari pada api. Anak-anak menjadi jenuh untuk belajar, ilmu yang diperolehnya pun hanya sebatas supaya lulus ujian dan menyelesaikan masalah diatas kertas. Bagaimana dengan nasib anak-anak di desa dimana waktu anak-anak itu begitu berharga untuk membantu orang tuanya di ladang, sementara ilmu yang diperoleh disekolah tidak satupun yang berhubungan dengan masalah dipedesaan. Akibatnya, tentu saja semua anak di desa setelah lulus, tujuannya adalah kekota, meninggalkan desa mereka yang kaya akan sumber daya alam. Anak-anak desa bingung kalau tetap tinggal di desa, karena itu artinya, ilmu mereka selama sekolah tidak dapat diterapkan. Amat disayangkan, padahal kekayaan indonesia terletak di desa, kalau kekayaan alam itu tidak dikelola, wajar saja kalau penduduk desa miskin, penduduk kota juga sama saja.
Teringat pernyataan Dosen saya ketika kuliah dulu, kalau beliau menjadi menteri pendidikan, maka yang pertama kali dihapus adalah kurikulum, karena kurikulumlah yang membuat bangsa ini bodoh. Pernyataan ini terus menjadi bahan pemikiran saya hingga saat ini, benarkah seperti ini ?.... Kalau ini benar, amat disayangkan waktu anak-anak muda kita yang sekolah dari pagi hingga sore dari anak-anak hingga remaja, dari sekian banyaknya waktu yang dikeluarkan, dan dari sekian banyaknya biaya yang dikeluarkan, hanya menjadikan anak kita macan kertas, tanpa bisa berkarya menyelesaikan permasalahan bangsa, dan hanya bisa menjual kekayaan alam kita atau memberikan kebangsa lain untuk mengelolanya, sedangkan tuan rumahnya atau rakyat indonesia hanya bisa menjadi karyawan atau buruh.
Wajar kalau sebagian besar bangsa ini mengejar status, mengejar jabatan, mengejar kenaikan pangkat, mengejar SK, karena dengan secarik kertas jabatan, kita akan mendapatkan penghasilan yang luar biasa, usaha sebesarnya dilakukan untuk mendapatkan jabatan, jabatan bukan dianggap sebagai amanah, namun jabatan dianggap sebagai lahan basah. Berkarya ataupun tidak berkarya, asal sudah mendapatkan jabatan penghasilannya sama saja. Beginilah akibat dari pendidikan macan kertas, setelah bekerja pun targetnya masih kertas.
Penulis berharap, kelak pendidikan di Indonesia bisa lebih fokus lagi terhadap pengelolaan sumber daya alam di masing-masing wilayah, sekolah-sekolah berbasis kurikulum yang menajamkan pengelolaan sumber daya alam disekitarnya , lulusan-lulusan sarjana dapat lebih fokus lagi mengembangkan sumber daya alamnya di wilayah masing-masing. Penulis berharap rakyat indonesia bisa lebih sejahtera lagi, menikmati kekayaan alam indonesia yang melimpah dari sabang sampai merouke.