http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/10/18494514/Wamendikbud.Akui.Beban.Pelajaran.Siswa.Terlalu.Berat
Sebenarnya, apa yang membuat pelajaran ini menjadi berat bagi siswa ?
Suatu pelajaran menjadi berat dan menjadi beban bagi siswa, jika ilmu yang dipelajari jauh dari masalah kehidupan, jauh dari kondisi lingkungan siswa yang belajar. Suatu ilmu menjadi beban, bila sulit untuk diterapkan. Sayang sekali bila waktu para siswa dihabiskan untuk mempelajari ilmu yang jauh panggang dari pada api, sudah susah mempelajarinya, susah pula untuk menerapkannya.
Pengalaman penulis ketika mengunjungi sebuah sekolah dipedesaan, sambil berbincang-bincang saya coba meminjam buku kimia apa yang mereka pegang. Tertulis pada judul buku, kimia disekitar kita, tapi sayang isinya tidak menunjukan kita yang berada diwilayah pedesaan. Kalau meminjam istilah anak muda sekarang " kita yang mana, elu kali gua kagak". Wajar saja kalau siswa mengeluh sulitnya mempelajari ilmu kimia, karena kalaupun sudah bisa memahami isi buku, belum tentu juga bisa diterapkan di desanya. Padahal banyak sekali ilmu kimia yang bisa di ramu untuk diajarkan khusus diwilayah pedesaan, dengan demikian belajar kimia menjadi lebih menyenangkan, tidak menjadi beban dan bisa langsung diterapkan di rumahnya.
Banyak sekali penduduk desa yang pintar-pintar mengungsi ke kota, karena amat disayangkan kalau sudah pintar tapi tetap tinggal didesa dan hanya bisa menjadi petani yang miskin. Mengapa ini bisa terjadi, hal ini disebabkan karena ilmu yang mereka pelajari tidak dapat diterapkan didesa, dan hanya bisa diterapkan di kota, jadi wajar saja kalau banyak penduduk desa yang pindah kekota, padahal desanya kaya akan sumber daya alam dan membutuhkan orang-orang cerdas untuk mengelolanya.
Pendidikan yang salah sasaran, hanya akan menjadikan beban bagi siswa dan hanya membuang waktu muda dengan sia-sia. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan berorientasi izasah, hanya izasahnya sajalah yang dapat dimanfaatkan untuk melamar pekerjaan di kota, sedangkan ilmunya hanya sampai untuk mendapatkan izasah. Amat disayangkan, sudah banyak waktu yang dikorbankan juga biaya. Pendidikan seperti ini membuat desa ditinggal oleh penduduknya, karena ilmu yang didapat, atau izasah yang diperoleh baru dapat dirasakan manfaatnya apabila pindah kekota.
Penulis menyarankan materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan masing-masing wilayah, tidak perlu disamakan secara nasional. Ilmu yang diberikan mengutamakan mengatasi permasalahan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Misalnya untuk anak sd,smp,sma di wilayah pedesaan, mata pelajarannya lebih difokuskan pada pengembangan sumber daya alam wilayah desanya. dengan demikian belajar jadi lebih menyenangkan, dapat diterapkan langsung dan tidak menjadi beban.
Penulis pribadi merasa senang apabila kurikulum nasional di kurangi, tapi bukan berarti jam belajarnya disekolah dikurangi, sisa waktu yang cukup banyak dapat dimanfaatkan oleh para guru untuk memberikan ilmu tambahan yang sesuai denga kondisi wilayahnya masing-masing.
mengutip pernyataannya renald kasalali dalam tulisannya "Maka ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran
siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya. Namun kalau pengurangan
semata-mata dilakukan hanya sekedar untuk mengurangi jumlah subyeknya
saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “nowhere” juga. Apalagi
kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan
mempertahankan subyek-subyek yang hanya akan disampaikan secara kognitif
belaka." untuk lebih lengkapnya dapat dibaca pada link berikut :